Penyandang Disabilitas Raih Beasiswa LPDP ke Australia
Bermimpi itu memang hak setiap orang, tak terkecuali bagi Antony Tsaputra. Impian Antony untuk bisa berkunjung ke negara-negara lain sempat menjadi tertawaan temannya di bangku SMP. “Bagaimana kamu bisa ke luar negeri kalau ke sekolah saja selalu didorong dengan kursi roda? Apa sanggup ibumu mendorong sampai jauh?”, begitu Antony mengenang perkataan kawannya.
Namun, penyandang disabilitas dengan severe physical impairment ini tidak mengambil pusing olokan tersebut. Ia lebih memilih untuk fokus pada mimpinya. Akhirnya, berkat kegigihan dan kerja kerasnya selama bertahun-tahun, ia pun berhasil membuktikan dengan menjadi kandidat doktor dari University of New South Wales (UNSW) di Sidney, Australia.
“Saya selalu lebih mempercayai pertolongan Tuhan dan usaha sendiri dibandingkan ucapan orang lain”, kata Antony.
Penyandang Disabilitas Tak Halangi Raih Beasiswa
Antony menempuh pendidikan S1, S2, dan S3 bukan dengan biaya sendiri. Ia meraih gelar sarjana dari Universitas Andalas, Padang pada tahun 1998 dengan Beasiswa Bung Hatta. Ia melanjutkan pendidikan S2-nya di Griffith University, Australia pada tahun 2010 dengan pembiayaan penuh Plus Disability Package dari Pemerintah Australia.
Tiga tahun berselang, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti Program Fellowship tentang Disability Policy di University of Sydney. Setahun kemudian, Antony mendapat kesempatan sebagai satu-satunya penyandang disabilitas yang mengikuti Program Professional Fellowship on Legislative Process and Governance di Amerika Serikat.
Tidak berhenti sampai disitu, Antony tetap bermimpi setinggi-tingginya. Ia bertekad untuk melanjutkan studi S3-nya dengan Beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Berkat kegigihannya meraih beasiswa, Antony kini sedang menempuh program S3 di University of New South Wales (UNSW), Australia.
Perjuangan Meraih Beasiswa LPDP
Keluarga Antony sempat merasa ragu apakah Beasiswa LPDP ini berpihak pada kandidat penyandang disabilitas atau tidak. Namun, Antony membuktikan kepada keluarganya bahwa beasiswa dari Pemerintah Indonesia juga bisa merata, termasuk untuk penyandang disabilitas berat seperti dia.
Jalan Antony pun untuk meraih beasiswa ini tidak mulus-mulus saja. Berbagai tantangan ia lewati saat menjalani proses seleksi dan Persiapan Keberangkatan (PK). Saat seleksi substantif misalnya, tangga yang sangat banyak dan tinggi harus ia lalui untuk sampai di ruang tes.
“Saya digendong naik-turun tangga bergantian oleh ayah saya dan seorang peserta yang baru berkenalan pada hari itu. Namun, kondisi itu tidak menyurutkan semangat saya”, kata Antony.
Hal yang sama terjadi lagi saat PK, di mana sebagian kegiatan diadakan di lantai dua gedung tanpa akses untuk kursi roda. Sebelumnya LPDP sudah memberikan dispensasi bagi Antony untuk tidak ikut PK. Tetapi, Antony tidak ingin mendapat perlakuan istimewa. Baginya, PK adalah kesempatan belajar berharga yang tidak boleh ia lewatkan.
Antony mendapatkan pengalaman yang sangat berharga karena bertemu dengan teman-teman yang luar biasa pada penyelenggaraan PK ke-22 oleh LPDP. Mereka dengan ikhlas menggendong Antony di atas kursi roda sambil naik dan turun tangga sejak hari pertama hingga penutupan PK.
“Baru pertama kali dalam hidup, saya mengalami rasa persaudaraan yang sangat kuat di antara para awardee dari berbagai daerah dan etnis di seluruh Indonesia,” kata Antony.
Dukungan Kampus dan Keluarga di Australia
Merantau ke Negeri Kangguru tidak lantas membuat Antony kesusahan. Di Sidney, Antony tinggal bersama istri dan ayahnya. LPDP memberikannya anggaran tambahan untuk kebutuhan khusus penyelesaian studi didampingi keluarga.
Antony memiliki ketertarikan yang besar untuk mendalami disability policy atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan disabilitas. Topik penelitian disertasinya adalah penganggaran pemerintah yang inklusif terhadap penyandang disabilitas (Disability Inclusive Budgeting).
“Saya meneliti bagaimana potensi penganggaran pemerintah yang berpihak kepada penyandang disabilitas bisa membantu merealisasikan pemenuhan hak-hak mereka dalam berbagai sektor, bukan hanya dalam ranah rehabilitasi sosial,” tutur Antony.
Bagi Antony, physical impairment (kondisi fisik yang tidak bisa diperbaiki) bukanlah hambatan untuk menyelesaikan pendidikan. Keinginan kuat ditambah dukungan keluarga yang sangat besar menjadi kekuatan luar biasa untuk mengatasi hambatan dan tantangan apapun.
Di Australia, kondisi fisik Antony tidak menjadi penghalang karena ketersediaan reasonable accommodation berupa assistive technology dan aksesibilitas di berbagai fasilitas umum dan sarana transportasi untuk penyandang disabilitas. Kedua pembimbing Antony juga berperan besar, bukan hanya membantu dalam sisi akademik, tapi juga seluruh aspek yang dapat menunjang kelancaran studi.
Antony bersyukur karena keluarganya juga sangat supportif. Bahkan, istrinya selalu mendampingi dirinya yang membutuhkan perawatan selama 24 jam. Begitu juga ayah dan ibu Antony yang ikhlas untuk berpisah sementara, karena sang ayah ingin terus membantu menantunya, seperti menggendong Antony dari dan ke kursi roda.
Tetap Aktif dan Berprestasi untuk Negeri
Di samping berkuliah, Antony juga aktif menjadi anggota tetap UNSW International Students Sub Committee for Equity, Diversity, and Inclusion. Antony bahkan ditunjuk sebagai penanggung jawab program difabel untuk PPIA (Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia) Pusat. Tahun lalu, organisasi itu membantu pemasaran produk kerajinan hasil karya penyandang difabel dari Sumatera Barat di Australia.
Antony berpesan bahwa pendidikan dan pengetahuan menjadi modal penting bagi para penyandang disabilitas untuk bisa hidup mandiri.
“Saya juga ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok yang berdaya dan mampu berkontribusi untuk keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, dan negara”, katanya.
Disabilitas tidak akan pernah menjadi penghalang selama seseorang memiliki keinginan kuat mewujudkan impian dan selalu berprasangka baik kepada Tuhan. Di masa depan, Antony ingin membangun disability research centre untuk ikut berkontribusi mengembangkan disability studies di dunia penelitian tanah air.
Antony ingin hasil riset sesudah selesai studi S3-nya nanti bisa menjadi salah satu referensi pemerintah dalam pengembangan disability inclusive policy yang semakin baik.