Perjuangan Pemulung Sampah Meraih Beasiswa ke Luar Negeri

Keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih mimpi. Semua orang memiliki keterbatasan. Namun yang terpenting bukan apa keterbatasan kamu, tetapi bagaimana sikap kamu menghadapi keterbatasan itu. Apakah kamu menyerah? Apakah kamu berhenti? Apakah kamu memohon maklum? Atau kamu berusaha untuk mengatasi keterbatasan dirimu dengan cara mengajukan pertanyaan memberdayakan, menggunakan kreativitas kamu, dan fokus pada kekuatan kamu.

Seperti ditunjukan Firna Larasanti. Ia sadar pekerjaan sang ayah sebagai buruh rongsok dan sang ibu sebagai buruh cuci dirasa tak akan mampu mengantarkannya duduk di bangku perguruan tinggi.

Sejak kecil, Firna dan keluarga terbiasa hidup mengontrak di sebuah kamar kecil dan berpindah-pindah. Hingga pada 2006 mereka diperkenankan untuk mendirikan sebuah gubug kecil di atas tanah milik pemerintah Kota Semarang. Hal itu sangat disyukuri, sebab mereka dapat berlindung dari panasnya matahari dan dinginya hujan.

Firna Larasanti Dikamar tidurnya-sahabatkeluarga
Firna Larasanti Di kamar tidurnya-sahabatkeluarga

Meski kedua orangtuanya tidak pernah mengenyam bangku sekolah, namun mereka sangat mendukung anak-anaknya untuk mengedepankan pendidikan.

“Bagaimana pun caranya, anak-anak harus sekolah,” demikian prinsip kedua orangtua Firna. Karena mereka yakin dengan pendidikan akan mengubah nasib keluarga ini.

Segala upaya pun dilakukan kedua orangtua Firna agar ketiga anaknya bisa bersekolah. Sang ayah pernah berjualan nasi goreng keliling, buruh bangunan, buruh tani, penjaga rumah, dan saat ini sang ayah menjadi buruh barang-barang rongsokan dan terkadang memulung sampah.

Bahkan untuk menambal kekurangan kebutuhan hidup, ibu bekerja menjadi pembantu, buruh cuci dan gosok dan membantu bapak mencari barang rongsokan.

Sosok sang ibu yang tangguh dan luar biasa mendorong Firna untuk menjadi anak yang mandiri. Saat masih SMP, selepas pulang sekolah, Firna bekerja mengelupasi botol-botol bekas dan memilah-milah buku bekas.

Memang hasilnya tidak seberapa hanya Rp 1000 rupiah per hari, tetapi ibu melatih mental Firna agar menjadi anak yang mandiri, kuat, dan bisa berwirausaha suatu saat nanti.

Perjuangan Larasanti- Sumber photo ristekdikti
Perjuangan Larasanti- Sumber photo ristekdikti

Orangtua pernah berpesan kepada Firna “bahwa hidup ini tidak semua harus dinilai dengan materi, karena di sisi lain dapat memetik hikmah yakni ilmu kehidupan”.

Sempat terancam tidak dapat melanjutkan ke bangku SMA, namun Firna merasa ada sedikit jalan dengan meminjam uang di bank-bank kecil meski bunga bank sangat tinggi. Terkadang berhari-hari Firna dan keluarga menahan lapar dan berpuasa karena hasil kerja keras orangtuanya hanya cukup untuk membayar cicilan utang.

Syukurnya ketika SMA Firna mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah toko kelontong kecil. Toko tersebut terletak tidak jauh dari SMA, sehingga selepas pulang sekolah dari pukul 14.00-19.30 Firna bekerja untuk membantu bapak ibu. Meskipun Firna hanya digaji Rp20 ribu/bulan.

Dengan biaya sekolah yang sangat tinggi, membuat Firna putar otak. Saat libur nasional dan hari Minggu, ia bekerja di pemancingan menjadi pengantar makanan.

Di setiap Firna mengantar makanan ke pelanggan, Firna selalu berdoa semoga suatu saat nanti Firna dapat membahagiakan kedua orang tua dan meningkatkan harkat, martabat dan derajat kedua orangtuanya.

Waktu berjalan, selepas SMA Firna tak memiliki bayangan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Karena ia sadar untuk biaya sekolah saat SMP dan SMA terasa sangat berat. Namun hasrat ingin mengenyam bangku kuliah tak pernah luntur di hati kecil Firna.

Suatu ketika, saat membantu sang ayah memilah-milah barang rongsokan, Firna menemukan buku SNMPTN berwarna biru. Dalam buku tersebut tertera berbagai daftar Universitas Negeri dan Ternama di Indonesia. Ingin rasanya Firna mencoba mendaftar kuliah.

Firna-pun memberanikan diri mengatakan kepada orangtuanya, namun Bapak Ibu hanya diam saat itu.

Firna  mengerti betul seharusnya selepas SMA Firna harus bekerja dan meningkatkan perekonomian keluarga. Tetapi disitu terkadang Firna berfikir, Firna  ingin berjuang untuk Bangsa Indonesia. Dengan harapan ketika Firna sekolah tinggi ia dapat membantu banyak orang yang bernasib sama bahkan dibawah Firna.

Firna pun nekat mendaftar beberapa beasiswa. Namun sayangnya ia dinyatakan tidak lolos pada tes SNMPTN, Ujian Mandiri 1 Universitas Negeri Semarang (Unnes), Ujian Mandiri 2 Unnes dan Ujian Mandiri Universitas Diponegoro (Undip).

Firna Larasanti Wisuda bersama rektor UNNES sumber Photo Unnes
Firna Larasanti Wisuda bersama rektor UNNES sumber Photo Unnes

Firna pun sempat putus asa dan ingin mengubur mimpi dalam-dalam untuk kuliah. Hingga di tengah keputusannya, sang ayah memberikan koran bekas yang berisi informasi pembukaan pendaftaran mahasiswa baru di Unnes dan tersedia program beasiswa Bidik Misi. Firna pun berusaha kembali dan akhirnya Firna dinyatakan lolos, meski sebagai cadangan.

Meski sudah diterima di Ilmu Politik Unnes, namun ujian tak henti harus dihadapi Firna. Pada semester pertama, ia belum dinyatakan sebagai penerima beasiswa Bidik Misi dan dikenakan biaya uang pangkal sebesar Rp7.150.000. Ia pun lemas sebab keluarga tidak memiliki uang sepeser pun. Bahkan laptop pun saja Firna tidak punya.

Akhirnya selama satu semester Firna meminta keringanan waktu untuk membayar uang pangkal tersebut. Kami sekeluarga pun bekerja keras. Firna memutuskan kuliah sambil bekerja apapun dari jadi babysitter hingga menjadi buruh pasar. Akhirnya, ditengah penghujung semester 1 Firna diperkenankan mendapatkan keringanan uang pangkal dari kampus. Selain itu, Firna juga mampu memperoleh IPK tertinggi se-jurusan pada semester awal pertama.

Firna Larasanti Bersama Kedua orangtuanya/sumber photo Radar Semarang
Firna Larasanti Bersama Kedua orangtuanya/sumber photo Radar Semarang

Semester dua, Dewi Fortuna berada di pihaknya. Firna dinyatakan lolos menjadi penerima beasiswa Bidik Misi pengganti. Dari uang saku Bidik Misi, Firna bisa mencicil sebuah laptop dan sisanya digunakan untuk kebutuhan kuliah. Meski begitu, ia tetap bekerja keras di sela waktu perkuliahan untuk menutupi kekurangan kebutuhan. Terkadang di sela-sela kegiatan, ia membeli buku-buku bekas milik teman untuk membantu bapak dan ibu mengumpulkan barang rongsokan.

Pada 27 Juli 2016, saat momen wisuda itu datang, Firna tak kuasa menahan tangisnya, Firna bersyukur memiliki kedua orangtua yang merupakan malaikatnya yang sangat luar biasa dalam mendukung penuh pendidikanya.

Bahkan Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman M. Hum merekomendasikannya untuk mendapatkan beasiswa magister luar negeri.

Namun Firna tidak ingin berpangku tangan begitu saja. Setelah wisuda berakhir Firna bekerja keras agar  dapat lolos dan meraih impiannya untuk melanjutkan magister.

Firna mencari berbagai referensi dan belajar bagaimana agar lolos beasiswa LPDP.  Pada bulan November 2016, Firna mengikuti tes seleksi beasiswa LPDP di Yogyakarta. Ibu setia menemani saat itu, meskipun kami hanya tidur di sebuah mushola kecil. Tanggal 10 Desember 2016, Firna dinyatakan lolos seleksi beasiswa LPDP.

Setelah dinyatakan lolos beasiswa LPDP Firna berusaha untuk mendaftar beberapa kampus di New Zealand. Dengan penuh rasa syukur, Firna dinyatakan diterima dengan syarat di University of Otago dan University of Auckland.

 

Sumber https://www.lpdp.kemenkeu.go.id

~Schoters~

The #1 Largest Online Scholarship Platform